HUKUM PERJANJIAN
resume kel.5
Dalam hukum asing dijumpai istilah overeenkomst
(bahasa Belanda), contract /agreement (bahasa Inggris), dan sebagainya yang
merupakan istilah yang dalam hukum kita dikenal sebagai ”kontrak” atau
”perjanjian”. Umumnya dikatakan bahwa istilah-istilah tersebut memiliki
pengertian yang sama, sehingga tidak mengherankan apabila istilah tersebut
digunakan secara bergantian untuk menyebut sesuatu konstruksi hukum.
Istilah kontrak atau perjanjian dapat kita jumpai di
dalam KUHP, bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian
kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab undang-undang juga
menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian dari istilah
tersebut tidak diberikan.
Pada pasal 1313 KUHP merumuskan pengertian perjanjian,
adalah : suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih.
Namun para ahli hukum mempunyai pendapat yang
berbeda-beda mengenai pengertian perjanjian, Abdulkadir Muhammad mengemukakan
bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Ahli
hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan
atau ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti
luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap
perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para
pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dll, dan dalam arti
sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum
dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab
undang-undang hukum perdata.
Jenis-jenis kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak secara khusus
mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak
timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak atau kontrak tanpa
beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang
didalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak dan
berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik, kreditur
pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur, begitu juga
sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan
pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang lain untuk menerima
prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian
pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma, dan penitipan
barang dengan cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut ialah :
Berkaitan dengan aturan resiko, pada perjanjian
sepihak resiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian timbal balik
resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli.
Berkaitan dengan perjanjian syarat batal, pada
perjanjian timbal balik selalu dipersengketakan.
Jika suatu perjanjian timbal balik saat pernyataan
pailit baik oleh debitur maupun lawan janji tidak dipenuhi seluruh atau sebagian
dari padanya maka lawan janjinya berhak mensomir BHP. Untuk jangka waktu 8 hari
menyatakan apakah mereka mau mempertahankan perjanjian tersebut.
Kontrak menurut namanya dibedakan menjadi dua, yaitu
kontrak bernama atau kontrak nominat, dan kontrak tidak bernama atau kontrak
innominat. Dalam buku III KUHP tercantum bahwa kontrak bernama adalah kontrak
jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, hibah, penitipan barang, pinjam pakai,
pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dll. Sementara
yang dimaksud dengan kontrak tidak bernama adalah kontrak yang timbul, tumbuh,
dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum tercantum dalam kitab
undang-undang hukum perdata. Yang termasuk dalam kontrak ini misalnya leasing,
sewa-beli, keagenan, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya,
production sharing.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan menjadi kontrak
lisan dan kontrak tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak yang dibuat secara
lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan. Kontrak-kontrak yang terdapat dalam
buku III KUHP dapat dikatakan umumnya merupakan kontrak lisan, kecuali yang
disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu kontrak hibah yang harus dilakukan dengan
akta notaris.
Kontrak tertulis adalah kontrak yang dituangkan dalam
tulisan. Tulisan itu bisa dibuat oleh para pihak sendiri atau dibuat oleh
pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak tertulis kesepakatan lisan
sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian dituangkan dalam
tulisan.
Pelaksanaan kontrak
Pengaturan mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP
menjadi bagian dari pengaturan tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur
dalam pasal 1338 sampai dengan pasal 1341 KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa
yang mempunyai tugas untuk melaksanakan kontrak adalah mereka yang menjadi
subjek dalam kontrak itu. Salah satu pasal yang berhubungan langsung dengan
pelaksanaannya ialah pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi ”suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan etiket baik.” Dari pasal tersebut terkesan bahwa untuk
melaksanakan kontrak harus mengindahkan etiket baik saja, dan asas etiket baik
terkesan hanya terletak pada fase atau berkaitan dengan pelaksanaan kontrak,
tidak ada fase-fase lainnya dalam proses pembentukan kontrak.
Asas yang mengikat dalam pelaksanaan kontrak
Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan
kontrak ialah :
Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan
oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang
diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan
hukum pelengkap.
Bila suatu hal tidak diatur oleh/dalam undang-undang
dan belum juga dalam kebiasaan karena kemungkinan belum ada, tidak begitu
banyak dihadapi dalam praktek, maka harus diciptakan penyelesaiannya menurut/dengan
berpedoman pada kepatutan.
Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asas
kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam suatu kontrak mengandung dua
fungsi, yaitu :
Fungsi melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang
bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan,
contoh : dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga yang amat
tinggi, bunga yang amat tinggi tersebut bertentangan dengan asas kepatutan.
Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah
dengan atau dilaksanakan dengan asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas
kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang
tanpa isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.
Pembatalan perjanjian yang menimbulkan kerugian
Pembelokan pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan
kerugian yang disebabkan oleh kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut
dikenal dengan sebutan wanprestasi atau ingkar janji. Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi
atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap
pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak.
Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
Tidak memenuhi prestasi sama sekali
Terlambat memenuhi prestasi, dan
Memenuhi prestasi secara tidak sah
Akibat munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada
pihak yang dirugikan untuk menuntut penggantian kerugian yang dideritanya
terhadap pihak yang wanprestasi. Pihak yang wansprestasi memiliki kewajiban
untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian. Tuntutan pihak
yang dirugikan terhadap pihak yang menyebabkan kerugian berupa :
Pemenuhan perikatan
Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
Ganti rugi
Pembatalan persetujuan timbale balik, atau
Pembatalan dengan ganti rugi
Syarat-syarat sah perjanjian
Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka
perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan
pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya
suatu perjanjian, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya
perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian
yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh
disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan.
Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu
pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya
manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi
ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk
membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka
yang berada dibawah pengampunan.
3. Mengenai suatu hal tertentu
Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal
tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian
dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan
tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas
dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
4. Suatu sebab yang halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta
perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi,
dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai
orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat
ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat
ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian
dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut
batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya
suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah
Sumber:
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
theproperty-developer